Sekilas Tentang Sejarah Dan Tatwa Sanggah/Merajan, Tempat Suci Yang Ada Di Pekarangan Rumah

Om Swastiastu,

Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah sangatlah penting dalam kaitannya dengan hubungan umat dengan Tuhan. Sering juga umat menanyakan bangunan/pelinggih apa saja yang mesti dibuat dalam pekarangan rumah tersebut. Menurut beberapa sumber, bangunan/palinggih yang harus ada didalam pekarangan rumah adalah sanggah dan tugu Pangijeng/penunggun karang. Berikut penjelasannya :

Sanggah / Merajan


Tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut dengan merajan atau sanggah.


Pembuatan sanggah/merajan tidak sekedar hanya hiasan belaka, namun didasari atas landasan sastra yang menaunginya. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan banyak terdapat dalam kitab suci, seperti dalam Bhagawad Gita yang menyebutkan:

Samkaro narakayaiva
kulaghnanam kulasya ca
pantati pitaro hy esam
lupta­pindodaka­kriyah. (Bhagawad Gita I. 42)

Terjemahan:

Keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh (ke neraka), semua terpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Pudja, 2005: 26).

Penjelasan dari arti sloka diatas:

bahwa jika keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha, dimana dilakukan upacara mengenang jasa­jasa nenek moyang di pitra loka (tempat arwah mereka segera sesudah meninggal sebelum mencapai surga) dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan, buah­buahan dan lain­lain. Ini berarti bahwasanya adanya tempat suci untuk memuja leluhur sangat diperlukan untuk dapat memuja serta memuliakan arwah leluhur yang akan dan telah disucikan.

Sedangkan di dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan:

Yan tan semangkana tan tutug pali­pali sang dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya.

Terjemahan:

Bilamana belum dilaksanakan demikian (belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara yang dewa pitra (leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat tinggalnya.

Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan :

Apan sang dewapitranya salawase tan hana jeneknya.

Terjemahan:

Oleh karena sang dewa pitara (leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa upacara ngunggahang dewa pitara (leluhur) adalah untuk menetapkan stana sementara dari dewa pitara (leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis, bahwa dewa piatra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.

Begitu pula dijelaskan dalam Lontar Nagarakerthagama yang menyebutkan:

Ngka tang nusantarane Balya matemahan secara ring javabhumi, dharma mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah.

Adapun maksudnya kurang lebihnya menyebutkan bahwa apa yang diterapkan di Bali persis mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan bentuk bangunan candi, pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi tidak lain adalah parahyangan untuk memuja leluhur. 

Begitu pula dijelaskan dalam Lontar Loka Pala yang menguraikan:

Seperti manusia yang sudah lupa dengan saya, Sayalah yang menyebabkan ada mereka, saya tiada
lain adalah Sang Hyang Guru Reka, yang mengadakan seluruh isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang Kawitan yang beraga Sang Hyang Uma Kala, dan saya jugalah yang dipuja dengan Brahma, Wisnu dan Siwa. Ingatlah semuanya. Menjadi satu dalam Rong Tiga, dan sayalah yang mencipta, saya memelihara dan saya jugalah yang melebur

Kutipan di atas, apabila dipahami, maka berbhakti kepada leluhur melalui merajan dengan rong tiga adalah sebuah keharusan agar kita memperoleh keselamatan dan terhindar dari mara bahaya.

Berdasarkan atas beberapa sumber lontar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembuatan merajan tidak hanya sebatas asal buat saja oleh manusia, melainkan atas rujukan beberapaa sastra seperti yang diuraikan di atas.

Hai ini disebabkan merajan adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dan juga para leluhur, beserta Tri Murthi. Seluruhnya adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan sebuah upaya manusia untuk menuju keadan yang sejahtera.

Secara konvensional, pendirian suatu bangunan, apakah nantinya disebut rumah ataupun palinggih telah diatur sedemikian rupa di lontar asta dewa, asta kosala­kosali dan asta bhumi. Jika mengacu pada petunjuk lontar tersebut, maka pembagian peruntukan lahan selalu berpijak pada ajaran tri hita karana, dimana akan disediakan lahan untuk menghubungkan diri dengan tuhan (uttama mandala) dalam bentuk pendirian sanggah/merajan.

Lahan untuk menghubungkan dengan antar sesama (madya Mandala) dalam bentuk perumahan. Dan lahan untuk berinteraksi dengan alam lingkungan (nista mandala) dalam bentuk teba lengkap dengan tanaman dan ternak peliharaan.

Referensi : http://cakepane.blogspot.co.id/

Sejarah dan Tatwa Sanggah/Merajan


Merajan Atau sanggah dalam keluarga Hindu adalah sebuah tempat suci yang berdasarkan konsep Tri mandala, Tri Angga atau Tri Hita Karana merupakan sebuah tempat suci untuk memuja Tuhan dan Juga Roh leluhur.

Menurut konsep Tri angga Mrajan adalah tempat utamanya yang Diibaratkan sebagai Kepala, Rumah keluarga dianggap sebagai Badan atau bagian madya sedangkan bagian Nista angga adalah perkebunan atau pekarangan.

Sedangkan menurut konsep Tri Hita Karana mrajan adalah sebuah prahayangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Sebagai satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Jadi merajan adalah sebuah tempat suci yang berada disetiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.

Menurut Tatwa atau sejarahnya sanggah/mrajan berawal dari jaman Batu kira – kira 2500 tahun SM hingga 500 SM diamana orang bali saat itu telah memiliki keyakinan atau kepercayaan akan roh leluhur.

Namun media yang digunakan untuk melakukan pemujaan sangatlah sederhana yaitu sebuah tumpukan batu yang sering disebut Menhir dan juga berbagai macam tugu batu.

Setelah kedatangan agama Hindu ke bali tempat pemujaan di bali diubah sesuai dengan konsep yang di bawa orang – orang suci seperti Rsi Markanyeya, Dang Hyang Siddhimantra dan juga Dang Hyang Nirartha dan juga Empat Putra dari Hyang Gni Jaya Barulah dibuatkan sebuah tempat yang bernama mrajan.

Pada tahun 1019 – 1042 Mpu Kuturan datang ke Bali beliaulah yang menyatukan Sembilan sekte yang ada di Bali antara lain Siwa Siddanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, Surya, Ganapatya menjadi Konsep Tri Murti yaitu sebuah konsep pemujaan kepada Tiga dewa Yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Sama Seperti Candi parambanan yang diperuntukkan untuk memuja Brahma, Wisnu dan Siwa.

Dalam Konsep Tri Murti yang terdapat di Prahayangan Jagat dibuatkan tempat suci bernama kahyangan tiga yaitu Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung untuk memuja Siwa, Brahma dan juga Wisnu.

Di Mrajan itu sendiri Tri murti dipuja dalam konsep Rong Tiga, Di kanan dilinggihkan Dewa Brahma, Di kiri Dewa Wisnu dan Di tengah Dewa Siwa yang sering disebut dengan Tri Purusa
Ketika Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada Tahun 1540 membawa konsepTri Purusha yaitu pemujaan Sang Hyang tunggal yaitu berupa Bangunan Padmasana.

Referensi : http://ronentalmedia.blogspot.co.id/

Om Santih, Santih, Santih Om

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Kelahiran Dewi Satyawati Dan Maharesi Wyasa (Serta Kisah Satyawati Sang Pemantik Perang Bharatayudha)

Kisah Radha Dan Krisna

Mengenal Sosok Kamsa/Kangsa/Kans Musuh Pertama Sri Krisna